CERPEN,,(MENGEJAR IMPIAN)
Hallo Sahabat-sahabat Koral Putih,,aku baru sempet ngeposting lagi nih,,
oh ya aku kan dapet tugas cerpen dari guru bahasa Indonesiaku nih,,emmhh aku mau berbagi sama kalian semua nih,,,oke, sahabat koral putih,,,semoga kalian suka dengan tulisanku ini...
check this out
oh ya,,aku butuh kritik dan saran dari sahabat-sahabat semua nih,,,
ya maklumlah aku baru banget belajar bikin cerpen, ya awalnya karena tugas sih, tapi jadi pengen nyoba lagi nih.....
oh ya aku kan dapet tugas cerpen dari guru bahasa Indonesiaku nih,,emmhh aku mau berbagi sama kalian semua nih,,,oke, sahabat koral putih,,,semoga kalian suka dengan tulisanku ini...
check this out
IMPIAN DI BALIK LAYAR
Hari ini adalah hari yang sangat menegangkan bagiku dan teman-teman sebayaku. Karena hari ini adalah pengumuman UN tingkat SMA sederajat. Pagi ini, aku telah siap-siap untuk ke sekolah. Sebelum berangkat, aku meminta restu dan do’a kepada orang tuaku agar aku siap menghadapi hasil UN nantinya.
Setelah tiba di sekolah, sudah banyak teman-teman yang sedang menunggu papan pengumuman dikeluarkan. Sekitar 10 menit kemudian, papan pengumuman itu dikeluarkan dan sudah tertempel kertas putih bertuliskan nomor dan nama peserta ujian MAN 13, Banjar Baru. Ternyata kami lulus 100% ,”Alhamdulillah”, ucap semua siswa. Setelah mengetahui lulus semua, giliran kami melihat nilai UN kami. Aku pun tidak sabar melihat hasil kerja kerasku selama tiga tahun di MA (Madrasah Aliyah). Dan ternyata nilaiku adalah yang terbaik di MAN 13. Ya nilai rata-rataku 9.60, aku benar-benar tidak menyangka.
“Alhamdulillah, terima kasih ya Allah atas semua ini”, ucapku dengan rasa syukur.
Beberapa teman-teman mengucapkan selamat kepadaku, “Riza, Selamat ya…”, kata mereka.
“iya,,terima kasih kawan”, ujarku gembira.
Dan tiba-tiba aku dipanggil kepala sekolah, Pak Didi namanya. Beliau juga mengucapkan selamat dan memberi pesan kepadaku, “Muhammad Riza Yazid, selamat atas hasil yang kamu peroleh, saya hanya ingin berpesan, perjalanan kamu masih panjang, kejarlah cita-citamu dan tetaplah rendah hati”, kata Pak Didi dengan bijaksana dan penuh wibawa.
“Terima kasih Pak, saya akan selalu mengingat pesan Bapak”, kataku singkat.
Jam ditanganku sudah menunjukkan pukul 10.00 WITA. Aku segera pulang karena sudah tidak sabar memberi berita gembira ini kepada kedua orang tuaku. Ketika sampai rumah ternyata Abi dan Umi sudah menunggu dengan cemas di teras rumah.
“Assalamu’alaikum, Abi, Umi Alhamdulillah disekolahku lulus 100% dan aku dapat nilai terbaik”. Kataku.
“Alhamdulillah”, ujar Umi dan Abi dengan senyum gembira.
@@@@@
Malam harinya di ruang keluarga, aku dan adikku Nissa yang duduk dikelas 1 MTsN, sedang menonton film action. Tiba-tiba Umi dan Abi menghampiri kita. “Kakak, mau ngelanjutin ke Perguruan Tinggi mana?” Tanya Umi. Aku kaget dan bingung menjawabnya, karena aku tahu Umi dan Abi pasti ingin anaknya melanjutkan di Perguruan Tinggi Islam. Akhirnya aku menjawab dengan berat hati, “emmh aku ingin sekali melanjutkan kuliah di luar negeri, Umi” jawabku gugup.
“Kenapa harus ke Luar Negeri? Didalam negeri kan juga banyak Universitas yang bagus”, Tanya Umi.
“Aku tau Umi, tapi kuliah di Luar Negeri adalah cita-citaku sejak kelas 2 MA.” Jawabku.
Tiba-tiba Abi menyambar, “Di Luar Negeri? Pasti kamu mau ke Kairo, Mesir ya? Buat memperdalam nilai agama kan?” ujar Abi.
Aku kaget sekali saat Abi bicara seperti itu. Ya aku tahu kedua orang tuaku ingin sekali aku menjadi ulama besar atau guru agama. Keluarga kami memang sudah turun temurun menjadi guru agama. Abiku adalah guru agama di MA Raudhatul Husna. Aku diam seperti patung, seakan-akan sulit bicara. “Aduh gimna nih bilangnya”. Kataku dalam hati.
“Apa bener, kamu ingin kuliah di Al-Azhar Kairo, Mesir?” Tanya Umi.
Sepertinya kalau ke Kairo Umi setuju. Ya karena disana pasti akan belajar memperdalam ilmu agama Islam. Umi pun tersenyum. Tetapi aku mulai keringat dingin, masih seperti patung. Tiba-tiba Nissa memukul pundakku,” Ka Riza, koq diem ajha sih, itu ditanya sama Umi dan Abi “.kata Nissa. Aku pun terbangun dari lamunanku.
“Maaf Abi, Umi aku tau kalian ingin sekali aku menjadi ulama besar, tapi cita-citaku bukan itu. Sejak kelas 2 MA aku ingin menjadi sutradara.” Jawabku dengan berat hati.
“Apa…???” kata orang tuaku kaget.
“Iya Umi, Abi aku ingin melanjutkan ke Universitas di Amerika atau ga di Jerman.” Jawabku.
“Amerika?Jerman?, disana kan minoritas islam sayang,” ujar Umi.
“Aku tau Umi, justru itu tantangan buatku”’ ujarku dengan tegas.
“Jangan sayang, Umi tidak setuju kalau kamu jadi sutradara apalagi harus kuliah di Amerika atau di Jerman,” ujar Umi. “Ya, Abi juga tidak setuju,” kata Abi.
“Sebaiknya kamu memikirkan matang-matang, cobaan disana sangatlah banyak.” Ujar Abi yang tetap pada pendiriannya.
“Tapi Abi……”, kataku yang belum selesai bicara tapi sudah dipotong Umi.
“Betul itu Riza, sebaiknya kamu kuliah disini saja di Universitas Islam, di daerah kita.” Kata Umi.
“Tapi kalau aku menjadi sutradara kan aku juga bisa berdakwah lewat film-film yang kubuat”, kataku yang tetap dengan pendirianku.
“Umi bilang tidak, ya TIDAK…” bentaknya padaku.
Selama ini Umi tidak pernah membentakku sekeras itu. Sepertinya beliau benar-benar tidak ingin anak laki-lakinya menjadi sutradara. Beliau hanya ingin anaknya menjadi ulama besar. Umi pun masuk kamar setelah membentakku, Abi dan Nissa juga menyusul. Sedangkan aku masih duduk di ruang keluarga dan memikirkan kejadian yang baru saja terjadi. Aku bimbang,”Apakah aku harus menuruti keinginan orang tuaku atau aku harus tetap mengejar cita-citaku?” tanyaku dalam hati.
Tiba-tiba aku ingat pesan Pak Didi.” Kejarlah cita-citamu….” Tapi kalau aku mengejar cita-citaku, berarti aku melawan kedua orang tuaku.
“Ya Allah apa yang harus kupilih?” hatiku sangat bimbang. Akhirnya aku segera ke kamar mandi untuk berwudhu dan aku pun sholat istikharah agar diberi petunjuk oleh Allah SWT. Pilihan mana yang terbaik untuk masa depanku. Setelah itu aku mencoba memejamkan mataku, dan akhirnya aku tertidur. Saat tidur aku bermimpi menjadi sutradara yang sedang membuat sebuah film bernuansa islami.
@@@@@
Pukul 04.30 aku sudah bangun, dan siap-siap berangkat ke masjid dengan Abi untuk sholat subuh berjamaah. Diperjalanan aku menceritakan tentang mimpiku. Abi malah tertawa. “Abi, ini serius aku bermimpi jadi sutradara handal,” ujarku. “Kakak, itu hanya mimpi.” Kata Abi tersenyum. Setelah selesai sholat subuh berjamaah aku masih saja membicarakan tentang cita-citaku. “Sudah Riza, kamu udah tau kan, Abi dan Umi tidak setuju, sudahlah kamu turuti saja perintah kami. Itu yang terbaik untukmu,” kata Abi. Aku pun sangat kecewa. Semua percuma,” Tapi aku tidak akan menyerah,”kataku dalam hati.
Siang ini ada tes mendapatkan beasiswa kuliah ke luar negeri di Banjarmasin. Aku pun meminta izin kepada Umi, tapi dengan alasan ingin main ke rumah Fauzan sahabatku. Ya aku memang telah berbohong, tetapi kalau aku jujur, pasti Umi tidak mengizinkan. Dengan penuh semangat aku membawa photocopy ijazah dan NEMku. Saat mendaftar ternyata pesertanya berjumlah sekitar 1002 orang. “Subhanallah,” ujarku kagum. Disana aku bertemu Mairissa rivalku saat di MTsN. Ternyata ia menjadi peserta juga. Dari ribuan peserta, hanya ada 10 orang yang akan dipilih untuk melanjutkan seleksi berikutnya di Jakarta. “waw,,, ternyata sulit sekali,” bisikku. “ya tapi aku harus OPTIMIS,,,pantang menyerah.” Kataku semangat. Aku jadi ingat kata guru agamaku di MTsN 47, Pak Ishak namanya, beliau sering menyemangati murid-muridnya “Man jadda wajada” siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses.
Waktu yang ditunggu pun datang. Di aula yang sangat besar, hampir menyerupai GOR, ribuan pelajar berjuang untuk mendapat kesempatan belajar di Luar Negeri. Aku memulai dengan “Bismillah”. 2 jam pun berlalu, akhirnya aku selesai memecahkan soal-soal tersebut.
“Dua hari lagi pengumuman hasil tes tahap pertama, akan ada 60 peserta yang melanjutkan tes tahap kedua yaitu tes lisan.”kata kakak panitianya.
Aku pun pulang dengan penuh harap, semoga aku bisa lolos tahap selanjutnya. Setelah sampai di rumah, Umi sedang menyapu halaman. Dan dia bertanya padaku “Riza, kamu lama sekali main dengan Fauzan. Kemana saja kamu?”
“Tadi kita main sepak bola dilapangan dekat sekolah, Umi,”kataku dengan penuh kebohongan.
“Baru kali ini aku bohong besar kepada Umi, Ya Allah ampunilah aku,” ujarku dalam hati.
Aku pun langsung masuk kamar, karena sudah lelah dengan tes seleksi tadi siang.
@@@@@
Petang ini aku bersama sahabat-sahabatku, Fauzan, Abdi, Musa dan Bima berangkat ke masjid Al Islah untuk mengaji bersama dengan teman-teman yang lain. Dalam perjalanan aku menceritakan kejadian yang telah aku alami. Mereka pun heran, karena mereka tahu kalau aku tidak pernah melawan perintah orang tua. “Za, ginama kalau lo ternyata lolos tes dapet beasiswa ke Amerika? Lo bakal milih yang mana?” tanya Abdi. “Gue akan tetep ngejar cita-cita gue,” jawabku.
“Oke deh Za, kita akan dukung lo sepenuhnya, semoga lo bisa ngeyakinin kedua orang tua lo,” kata Bima.
“Iya, kita yakin pasti lo bisa nentuin yang terbaik buat masa depan lo, semangat Za!!!” ujar Musa.
“Terima kasih sob. Semoga kita semua bisa ngejar cita-cita kita,,,” kataku semangat.
“Terima kasih sob. Semoga kita semua bisa ngejar cita-cita kita,,,” kataku semangat.
Lama berbincang, akhirnya kita tiba di masjid Al Islah. Kami mengaji sampai selesai sholat isya berjamaah sekitar pukul 19.45 WITA. Selesai mengaji, aku pun segera pulang. Sampai dirumah, aku langsung masuk kamar. Didalam kamarku yang penuh dengan poster Arsenal, Club Football favoritku, aku berlatih berbahasa inggris dan melatih mentalku. Ya siapa tau aku bisa melanjutkan seleksi tahap kedua. Sampai larut malam aku berlatih dengan giat.
Keesokan harinya aku ke MAN 13, ada pengumuman masuk PTN jalur undangan. Aku sangat bersemangat, walaupun aku lebih fokus mempersiapkan untuk mendapatkan beasiswa ke Luar Negeri. Saat pengumuman, aku mendengar namaku disebut Pak Rusydi “Muhammad Riza Yazid, selamat kamu mendapat undangan ke ITB fakultas Teknik.” Kata guru Fisika kami. “Apa?” tiba-tiba aku tersentak.
Ya, aku baru ingat waktu itu aku pernah mendaftar jalur undangan ke UGM, ITB dan UNLAM. Dan aku masuk ITB. Aku tak tahu harus bagaimana, ya seharusnya aku sangat senang karena tidak mudah untuk diterima di ITB, tapi dipikiranku hanya tertuju dengan beasiswa ke Amerika yang kuimpikan.
Ya, aku baru ingat waktu itu aku pernah mendaftar jalur undangan ke UGM, ITB dan UNLAM. Dan aku masuk ITB. Aku tak tahu harus bagaimana, ya seharusnya aku sangat senang karena tidak mudah untuk diterima di ITB, tapi dipikiranku hanya tertuju dengan beasiswa ke Amerika yang kuimpikan.
@@@@@
Pagi ini aku mempersiapkan diri untuk menerima apapun hasil tes seleksi 2 hari lalu. Dan “Alhamdulillah” aku lolos seleksi tahap pertama, dan beberapa jam lagi aku akan menghadapi tes seleksi tahap kedua. Ternyata perkiraanku benar 100%. Para peserta di tes wawancara dengan menggunakan bahasa inggris. “uuhhh, untungnya aku telah berlatih giat. Semoga aku bisa menghadapi seleksi ini dengan lancar,” harapku. Tahap kedua pun telah selesai. Lega sekali rasanya. Tapi aku harus melewati satu tahap lagi di Jakarta untuk mendapatkan beasiswa itu. “Jakarta? Emmhh kalau emang ternyata aku lolos ke Jakarta, alasan apa lagi yang harus ku buat?” pikirku.
Esok harinya pengumuman yang lolos ke Jakarta. Aku lolos lagi. Semalaman aku memikirkan alasan apa yang akan ku berikan pada Umi dan Abi. Lusa aku sudah harus ke Jakarta, “Bagaimana ya Allah, apa yang harus kulakukan, berikanlah petunjuk-Mu,” ujarku. Dengan sejuta alasan, aku pun akhirnya bisa ke Jakarta. Aku memang belum berani jujur dengan mereka. Nanti setelah aku berhasil baru akan kuceritakan pada orang tuaku. Dengan berat hati, aku nekat ke Jakarta. Selama 2 hari seleksi di Jakarta, aku pun berhasil mendapatkan beasiswa ke Amerika dengan jurusan perfilman, terutama kesutradaraan. Ya inilah awal perjuanganku untuk mencapai cita-citaku.
Selesai urusan di Jakarta, aku pulang ke Banjar Baru. Aku mempersiapkan mental untuk menceritakan semuanya pada orang tuaku. Saat tiba dirumah aku langsung meminta maaf kepada Umi dan Abi, karena selama ini aku telah berbohong pada mereka.
“Umi, Abi maafkan aku karena selama ini sebenarnya aku sudah berbohong pada kalian,” kataku.
“Apa..? jadi selama ini kamu bohong dengan Umi?” ujar Umi marah.
“Apakah kamu masih tetep akan ke Amerika?” Tanya Umi.
“Iya Umi, aku akan ke Amerika minggu depan, setelah passport dan semua urusanku selesai. Sekali lagi maafkan aku Umi, Abi, aku telah membantah perintah kalian, aku mohon doa restu dan Ridhonya” ujarku memohon dengan penuh harap.
Umi dan Abi tidak menghiraukan, tak ada respon. Tetapi aku tetap dengan tekadku. Akhirnya aku berangkat ke Amerika dengan calon mahasiswa-mahasiswa lainnya.
@@@@@
Selama 4 tahun 6 bulan, aku menempuh pendidikan di Amerika, dengan giat dan sungguh-sungguh. Aku bekerja keras demi mencapai cita-citaku. 5 tahun kemudian aku pun dapat membuktikan bahwa pilihanku memang benar. Aku telah menjuarai film-film pendek di Amerika, bahkan aku pernah mendapat juara 2 pembuatan film dokumenter tingkat internasional yang diadakan di Swiss.
Setelah itu aku balik ke Negara asalku, Indonesia dan tinggal di Jakarta. Sekitar 4 bulan di Jakarta, aku ditawari untuk menjadi sutradara dalam film bernuansa islami “Menembus Sang Fajar” itulah judul film yang kubuat. Dan “Alhamdulillah” untuk pertama kalinya aku sukses membuat film berdurasi 120 menit tersebut. Sampai-sampai filmku memenangkan IMA (Indonesian Movie Award) sebagai film terbaik. Aku sangat bersyukur. Dan setelah itu aku baru pulang ke kampungku di Banjar Baru, ya setelah sekitar 6 tahun lebih aku tidak bertemu dengan orang-orang yang sangat aku cintai. Sesampainya dirumah aku langsung mohon maaf pada Umi dan Abi. Mereka akhirnya memaafkanku. Dan bahkan mereka mendukungku sepenuhnya. Hatiku sangat senang, orang tuaku telah menerimaku sebagai sutradara.
“Terima kasih ya Allah, ini semua karena-Mu, tak ada yang bisa ku lakukan tanpa Rahmat-Mu.”
Dan akhirnya aku bisa meraih “ImpianKu Di Balik Layar”.
SELESAI
oh ya,,aku butuh kritik dan saran dari sahabat-sahabat semua nih,,,
ya maklumlah aku baru banget belajar bikin cerpen, ya awalnya karena tugas sih, tapi jadi pengen nyoba lagi nih.....
Komentar
Posting Komentar